TRIBUNONE.COM, SEMARANG – Suasana ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang kembali memanas. Mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, yang akrab disapa Mbak Ita, secara terbuka menantang integritas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam pembelaannya, ia menuding lembaga antirasuah tersebut melakukan tebang pilih dalam menetapkan tersangka.
Mbak Ita secara gamblang mempertanyakan mengapa Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang, Indriyasari, belum ditetapkan sebagai tersangka, meski namanya disebut jelas dalam surat dakwaan. Ia menduga ada perlakuan istimewa terhadap Indriyasari, yang disebut sebagai aktor utama di balik skema “iuran kebersamaan” dari tunjangan pegawai.
Menurut dakwaan yang dibacakan jaksa KPK, Indriyasari bukan hanya mengetahui praktik tersebut, namun juga aktif dalam menetapkan besaran, mekanisme, serta distribusi dana iuran. Mbak Ita mengakui pernah menerima setoran tersebut di awal masa jabatannya, namun mengklaim tidak mengetahui asal-usul maupun maksud dari dana itu. Ia menyatakan bahwa sistem tersebut sudah berjalan jauh sebelum dirinya menjabat, dan dipaparkan sebagai “tradisi lama” oleh para pejabat Bapenda.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih lanjut, Mbak Ita mengungkap bahwa setelah menyadari adanya kejanggalan, ia segera mengembalikan dana tersebut kepada Indriyasari, bahkan sebelum penyidikan resmi dimulai. Ia menduga adanya skenario jebakan yang dirancang oleh bawahannya, termasuk sejumlah kepala bidang, yang diduga sengaja merahasiakan praktik itu dari jajaran pegawai lain.
Meski mengakui adanya kelalaian, Mbak Ita menegaskan bahwa proses hukum tak boleh berhenti di dirinya saja. Ia menuntut agar penegakan hukum dilakukan secara menyeluruh, adil, dan tanpa pandang bulu. “Jika memang adil, maka siapa pun yang terlibat, termasuk Kepala Bapenda, harus ikut dimintai pertanggungjawaban,” tegasnya di hadapan majelis hakim.
Dalam kasus ini, Jaksa KPK menuntut Mbak Ita dengan pidana penjara selama enam tahun dan denda sebesar Rp500 juta. Ia juga diwajibkan mengganti kerugian negara sebesar Rp683,2 juta serta dikenakan sanksi tambahan berupa larangan menjabat di jabatan publik selama dua tahun. Sementara itu, sang suami, Alwin Basri, juga ikut terseret dan dituntut hukuman delapan tahun penjara serta pengembalian uang pengganti sebesar Rp4 miliar.
Sidang lanjutan dijadwalkan pekan depan dengan agenda pembacaan putusan. Publik pun kini menanti: apakah KPK akan menindaklanjuti tantangan terbuka dari Mbak Ita? (*)