Jakarta (Kutai Barat) Tribunone.com – Putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) terkait sengketa jabatan sekretaris kampung (sekdes) Tondoh, Kecamatan Mook Manaar Bulatn, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, belum juga dilaksanakan hingga awal Agustus 2025.
Kuasa hukum Andinul Ermiaty mantan sekdes yang memenangkan gugatan tersebut menilai lambannya pelaksanaan eksekusi merupakan bentuk pembangkangan terhadap hukum oleh pemerintah kampung maupun pemerintah daerah.
“Putusan itu sudah inkracht. Artinya wajib dilaksanakan tanpa bisa ditawar-tawar lagi. Tapi sejak penetapan eksekusi keluar, justru muncul sikap pembangkangan dari petinggi kampung,” ujar Sadam Kholik, kuasa hukum Andinul, saat diwawancarai Media ini, Minggu (3/8/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurutnya, putusan pengadilan telah memerintahkan agar Andinul dikembalikan ke posisinya sebagai sekdes. Namun yang terjadi, kata Sadam, petinggi kampung justru mengabaikan perintah hukum.
“Petinggi kampung bukan hanya menolak, tapi secara hukum telah membangkang terhadap putusan pengadilan. Karena itu, pengadilan kemudian menjatuhkan sanksi administratif,” tegasnya.
Bupati Diperintahkan Jatuhkan Sanksi
Sadam menjelaskan, dalam sanksi administratif yang diterbitkan, pengadilan memerintahkan Bupati Kutai Barat agar memberikan sanksi kepada termohon eksekusi yang tidak melaksanakan putusan.
“Disebutkan secara eksplisit, bupati diwajibkan menjatuhkan sanksi, bahkan bisa berupa pemberhentian sementara terhadap petinggi kampung,” katanya.
Ia menilai tidak ada lagi alasan bagi Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Kampung (DPMK), Bagian Hukum, maupun Bupati Kutai Barat untuk menunda pelaksanaan sanksi itu.
“Jangan ada ketakutan atau kekhawatiran. Ini bukan soal suka atau tidak suka, ini perintah pengadilan yang wajib dilaksanakan. Kalau tidak, justru pejabat daerah sendiri yang dianggap membangkang terhadap hukum,” ujarnya.
Ombudsman dan Istana Turun Tangan
Sadam menyebut, pihaknya telah menempuh semua jalur formal untuk memastikan pelaksanaan putusan tersebut, namun justru menghadapi tarik-menarik antara pejabat daerah.
“Kami bahkan sudah minta bantuan Ombudsman RI Kaltim. Pengadilan TUN Samarinda pun sudah bersurat ke Presiden. Bahkan Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi telah memerintahkan Kementerian Dalam Negeri untuk menindaklanjuti surat dari pengadilan,” bebernya.
Namun hingga kini, pelaksanaan putusan belum juga dilakukan.
“Ini yang membuat kami bertanya-tanya. Ada apa dengan petinggi kampung ini? Dan ada apa dengan Pemkab Kutai Barat yang hingga hari ini belum juga menjatuhkan sanksi terhadap pihak yang membangkang terhadap hukum?” tanya Sadam.
Pejabat Pemkab: Belum Cukup Syarat
Sementara itu, Kepala Bagian Hukum Setkab Kutai Barat, Adrianus Joni, menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak bisa begitu saja memberhentikan petinggi kampung hanya karena tidak melaksanakan putusan pengadilan.
“Pemberhentian petinggi itu ada syarat-syaratnya. Kalau hanya karena tidak melaksanakan putusan pengadilan, itu belum cukup. Coba dicek, apakah itu masuk dalam Undang-Undang Desa?” kata Joni saat dikonfirmasi Media ini.
Ia menyebutkan, jika kepala daerah gegabah mengeluarkan SK pemberhentian, justru berpotensi menimbulkan masalah hukum baru.
“Ini soal serius. Kalau Bupati yang tanda tangan SK pemberhentian tanpa dasar kuat, bisa jadi kita yang dituntut balik. Karena syarat pemberhentiannya belum terpenuhi,” ujarnya.
Joni menyatakan, Pemkab bertugas menjaga agar tidak salah mengambil kebijakan. Dalam konteks eksekusi putusan TUN, ia mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang mengatur teknis pelaksanaannya.
“Eksekusi putusan TUN itu ada SEMA-nya. Silakan dibaca baik-baik. Jangan hanya menuntut pemerintah bertindak tanpa memahami mekanisme hukum yang berlaku,” tegasnya.
Camat Seharusnya Bertindak
Lebih jauh, Joni menilai eksekusi itu seharusnya menjadi ranah camat sebagai atasan langsung petinggi kampung.
“Kalau sekarang pemerintah diminta memberikan sanksi, sama saja menyuruh pemerintah melanggar hukum. Itu intervensi. Seharusnya camat yang bertindak, bukan kami. Camat bisa panggil petinggi dan menyampaikan bahwa ini ada putusan pengadilan yang harus dilaksanakan,” jelasnya.
Terkait desakan agar SK pengangkatan Andinul diaktifkan kembali, ia menegaskan bahwa hal itu belum bisa dilakukan karena syarat administratif belum terpenuhi.
“Sudah saya perintahkan staf untuk mengembalikan berkas ke DPMK. Jangan sampai saya bilang, ‘berhentikan orang seenaknya.’ Tidak bisa begitu,” pungkasnya.
Joni juga mengingatkan bahwa dirinya tidak bisa mengomentari lebih jauh soal putusan pengadilan.
“Saya tidak boleh berkomentar tentang putusan pengadilan. Ini ranahnya pengadilan yang benar, bukan ranah pemerintah,” tutupnya.
Reporter: Aida