OPINI:
TRIBUNONE.COM, JAKARTA – Pemerintah pusat, melalui Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, menyampaikan pernyataan tegas: lahan yang tidak digarap selama dua tahun akan diambil alih negara. Sekilas terdengar adil dan progresif. Tapi pertanyaannya, benarkah keberanian ini juga berlaku terhadap para pemilik lahan skala besar, khususnya pemegang Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah lama terbengkalai?
Secara normatif, Nusron benar—seluruh tanah di Indonesia adalah milik negara. Maka, jika ada pihak, termasuk korporasi besar, yang diberi hak HGU namun lalai mengelola atau tidak memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, negara memiliki kewenangan untuk mencabut hak tersebut. Namun di lapangan, yang terjadi justru sebaliknya.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ambil contoh Aceh. Di sana, masih banyak lahan HGU yang telah puluhan tahun mangkrak. Tidak produktif, tidak memberikan kontribusi ekonomi bagi daerah, dan bahkan menjadi pemicu konflik berkepanjangan dengan masyarakat sekitar. Anehnya, lahan-lahan ini tetap aman di tangan pemiliknya. Tak tersentuh. Tak pernah ditertibkan.
Sementara itu, rakyat kecil yang benar-benar membutuhkan lahan untuk bertani dan bertahan hidup justru berulang kali dikriminalisasi, bahkan berhadapan dengan aparat ketika mencoba memanfaatkan lahan yang tidur dan terbengkalai itu. Di sinilah letak ironi dan ketimpangan kebijakan agraria kita.
Apakah negara hanya berani menindak petani gurem atau rakyat biasa yang tak menggarap pekarangannya dua tahun? Atau akan benar-benar berlaku adil—tegas kepada siapa pun, termasuk korporasi besar yang selama ini terkesan kebal hukum?
Jika pemerintah serius menjalankan amanat Undang-Undang Pokok Agraria, seharusnya aturan ini tidak berhenti sebagai wacana elitis. Harus ada keberanian politik untuk menyita lahan-lahan HGU mangkrak yang nyata-nyata mencederai rasa keadilan dan menghambat kesejahteraan rakyat.
Sudah cukup rakyat kecil jadi korban. Jangan biarkan tanah hanya menjadi alat kekuasaan segelintir elite. Bila negara betul-betul berpihak kepada rakyat, maka kebijakan agraria tidak boleh tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Sudah saatnya keadilan agraria ditegakkan—tanpa pilih kasih. (*)