JAKARTA, TRIBUNONE.COM – Penetapan Supriyadi, karyawan PT Anekareksa International (ARI) di Kecamatan Siluq Ngurai, Kutai Barat, sebagai tersangka kasus dugaan pencurian pupuk menimbulkan gelombang kritik. Keluarga menilai aparat kepolisian bersama pihak perusahaan tidak profesional dalam menangani kasus ini.
Supriyadi hanyalah operator jonder yang bertugas mengantar pupuk pada 12 Agustus 2025. Ia menjalankan perintah atasan untuk mengirim ke salah satu blok kebun bersama dua tukang langsir. Setelah selesai, ia kembali ke mess. Anehnya, beberapa jam kemudian, Supriyadi dipanggil ke kantor perusahaan dan langsung dikaitkan dengan temuan 11 karung pupuk di pinggir jalan, sekitar 200–300 meter dari kantor pusat PT ARI.
“Kami menilai Supriyadi dijadikan kambing hitam. Dari saksi, tiba-tiba langsung ditetapkan tersangka tanpa proses yang jelas. Padahal lokasi penemuan pupuk begitu dekat dengan kantor perusahaan yang dijaga brimob dan sekuriti. Rasanya janggal sekali kalau itu disebut murni ulah karyawan,” kata Kerok, perwakilan keluarga Supriyadi, Kamis (4/9/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kerok menegaskan, penanganan perkara terkesan terburu-buru. Menurutnya, pihak kepolisian seperti hanya mengamini laporan perusahaan tanpa menelusuri aktor lain yang lebih berperan di lapangan.
“Kalau bicara tanggung jawab, mestinya mandor dan asisten lapangan yang dipanggil dulu. Mereka yang memberi perintah dan mengawasi distribusi pupuk. Tapi anehnya, mereka aman-aman saja, tidak disentuh hukum,” ujarnya.
Lebih jauh, keluarga juga mempertanyakan sikap perusahaan yang menolak upaya damai. Padahal pemerintah kampung sudah mencoba memediasi agar kasus ini diselesaikan secara internal. PT ARI justru mengajukan lima syarat memberatkan jika jalur kekeluargaan ingin ditempuh.
“Syaratnya sangat tidak masuk akal. Suruh Supriyadi mundur, bayar sewa jonder Rp40 juta per bulan, ganti pupuk, jaga situasi, sampai menanggung biaya operasional polisi. Itu jelas mengada-ada, karena penanganan perkara dibiayai negara, bukan dibebankan ke tersangka,” tegas Kerok.
Keluarga menilai, syarat-syarat itu justru memperlihatkan ada kepentingan perusahaan untuk menyingkirkan karyawan kecil dengan cara memanfaatkan proses hukum.
“Kalau memang ada dugaan kesalahan, seharusnya diselesaikan secara internal dulu. Beri surat peringatan atau teguran. Tapi ini langsung dibawa ke polisi, seakan-akan perusahaan mau lepas tangan dan sekaligus menekan pekerja,” ucapnya.
Menurut Kerok, pola penanganan seperti ini berbahaya. Selain mengorbankan karyawan kecil, juga bisa menimbulkan keresahan sosial di kampung sekitar.
“Kami tidak membela pencurian, tapi kami ingin prosesnya adil. Jangan hanya orang bawah yang diseret, sementara yang punya kuasa tidak pernah disentuh. Kalau benar ada penadah bernama Batar, kenapa tidak dipanggil? Jangan hanya Supriyadi yang ditahan,” katanya dengan nada kesal.
Ia menambahkan, hak-hak hukum Supriyadi pun belum dipenuhi. Hingga kini pendampingan hukum masih minim, sementara tekanan dari perusahaan terus berjalan.
“Sebelum ada putusan pengadilan, tersangka masih punya hak membela diri. Jangan sampai tekanan perusahaan dan aparat justru menghilangkan hak dasar itu,” tegas Kerok.
Keluarga berharap agar pihak kepolisian lebih objektif, tidak hanya menerima laporan sepihak perusahaan. Mereka juga meminta perusahaan membuka ruang damai demi menjaga hubungan baik dengan masyarakat.
“Kalau kasus seperti ini tidak ditangani bijak, yang rugi bukan hanya Supriyadi, tapi juga perusahaan sendiri. Hubungan dengan masyarakat bisa rusak, dan kepercayaan terhadap aparat bisa hilang,” pungkas Kerok.