Kutai Barat Kaltim Tribunone.com – Di balik bentang alam hijau dan kekayaan sumber daya alamnya, Kabupaten Kutai Barat (Kubar) menyimpan luka dalam, ruang hidup yang direbut, hutan yang digunduli, dan masyarakat adat yang dipinggirkan. Semua bermula dari satu era yang penuh perizinan: masa kepemimpinan Bupati Ismail Thomas (2006–2015). Dalam dua periode itu, Kutai Barat menjadi lahan ekspansi tambang dan perkebunan sawit secara massif, meninggalkan jejak krisis ekologis dan konflik agraria yang belum usai.
Ledakan Konsesi di Era Ismail Thomas
Di masa inilah, Kutai Barat mengalami ledakan penerbitan izin konsesi paling agresif. Tercatat, 243 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 7 PKP2B diterbitkan, mencakup ±350.000 hektar lahan. Perusahaan-perusahaan besar seperti PT Gunung Bara Utama (GBU) dan PT Mahakam Coal Mining masuk hingga ke jantung wilayah adat dan pemukiman rakyat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sektor sawit, ekspansi tak kalah rakus. Sedikitnya 38 perusahaan menguasai ±202.585 hektar lahan, termasuk PT Fangiono Agro Plantation dan PT Dharma Agro Lestari. Hutan yang dulunya menjadi ruang hidup dan sumber pangan masyarakat adat kini berubah menjadi barisan blok industri.
Akumulasi tambang dan sawit mencaplok lebih dari 27% wilayah Kutai Barat, menjadikannya salah satu kabupaten dengan tingkat beban konsesi tertinggi di Kalimantan Timur.
Ruang Hidup yang Tersisa: Tinggal 25%
Ironisnya, ruang yang tersisa bagi rakyat tak sampai seperempat dari luas wilayah. Sisa Kutai Barat telah dibagi menjadi kawasan hutan negara (lindung, produksi terbatas, HTI) dan Area Penggunaan Lain (APL) yang mayoritas sudah dikapling perusahaan.
Diperkirakan hanya 400.000–500.000 hektar atau sekitar 20–25% wilayah yang masih memungkinkan dikelola oleh masyarakat. Sisanya terkunci dalam skema korporasi dan regulasi yang menghalangi akses rakyat.
Krisis Sosial dan Ekologis
Dampaknya sangat luas:
- Konflik agraria antara masyarakat adat Dayak Benuaq dan Tunjung dengan korporasi terus berlangsung.
- Kerusakan lingkungan memperparah banjir, degradasi tanah, dan pencemaran sungai.
- Hilangnya sumber penghidupan memicu pemiskinan struktural dan migrasi paksa.
JATAM dan MAKI Angkat Suara
Melky Nahar, Koordinator Nasional JATAM, menyebut bahwa izin-izin pada era Ismail Thomas banyak diterbitkan tanpa kajian sosial-ekologis dan tanpa konsultasi publik. “Ini adalah pintu masuk kehancuran sosial dan ekologis,” tegasnya. Ia mendesak audit menyeluruh terhadap semua izin dan pengakuan penuh atas wilayah adat.
Boyamin Saiman dari MAKI menyoroti aspek korupsi dalam proses perizinan. “Minimnya transparansi menjadikan perizinan sawit sebagai ladang korupsi,” ujarnya. Ia menyerukan reformasi tata kelola dan penindakan hukum terhadap pelaku, termasuk Ismail Thomas dan pejabat-pejabat terkait.
Enam Langkah Jalan Pembenahan
JATAM dan MAKI mengusulkan enam langkah mendesak sebagai jalan keluar dari krisis ini:
- Audit seluruh izin tambang dan sawit.
- Cabut izin yang tumpang tindih atau bermasalah.
- Percepat pengakuan hutan adat dan hak komunal.
- Moratorium izin baru.
- Rehabilitasi ekosistem dan ruang hidup masyarakat.
- Tindak hukum Ismail Thomas dan pihak-pihak yang terlibat.
Akhir yang Belum Dimulai
Warisan kelam ini belum berakhir. Ruang hidup terus menyusut, sementara suara masyarakat kalah oleh kepentingan modal. Yang tersisa adalah pertanyaan yang semakin mendesak: siapa yang berani memutus rantai warisan eksploitasi ini? (*).