Jakarta Tribunone.com Sendawar, Kaltim – Kerusakan lingkungan parah di Kutai Barat bukan semata akibat tambang rakyat kecil. Di balik lubang-lubang menganga dan hutan yang habis digerus, terungkap skema sistematis pengurasan sumber daya oleh elite politik lokal. Ia adalah Ismail Thomas, mantan Bupati Kutai Barat yang menjabat dua periode (2006–2015).
Tambang rakyat selama ini dijadikan kambing hitam. Padahal, kerusakan berskala besar justru terjadi akibat operasi perusahaan besar yang bernaung di bawah kepemimpinan dan pengaruh Ismail Thomas.
“Penambang rakyat itu sejatinya hanya bertransformasi dari cara tradisional ke semi-mekanis. Mereka bukan aktor utama kerusakan ini,” tegas seorang tokoh masyarakat, yang memilih anonim karena alasan keamanan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tokoh Lingkungan yang Bermuka Dua
Selain Ismail Thomas, juga muncul aktor yaitu Alsiyus, ia mengklaim sebagai aktivis lingkungan terdepan bertopeng Aliansi Penyelamatan Hutan Kutai Barat (APHKB). Ia rutin mengkritik tambang ilegal dan menuntut perlindungan hutan. Namun, di balik seruan lantangnya, tersembunyi masa lalu yang gelap.
Alsiyus ia mantan Direktur PT Bangun Olah Sarana Sukses (BOSS) – salah satu perusahaan tambang yang beroperasi saat Ismail Thomas masih menjabat sebagai bupati. Perusahaan ini meninggalkan kerusakan masif dan lubang tambang yang tak pernah direklamasi.
“PT BOSS itu dulu sangat aktif, dan ironisnya, banyak warga tidak tahu bahwa Alsiyus sendiri yang ada di balik pengelolaannya. Sekarang dia bicara soal penyelamatan lingkungan? Kami bingung dan merasa dibohongi,” ungkap seorang warga Kampung Jambuk, yang menjadi saksi langsung dampak operasional tambang.
Jaringan Kuasa dan Dinasti Tambang
Selama dua periode menjabat, Ismail Thomas membangun jaringan bisnis tambang yang kompleks. Ia menempatkan orang-orang kepercayaan dan kerabat dalam posisi strategis di perusahaan tambang. PT Gunung Bara Utama (GBU) dan PT BOSS menjadi poros dari jaringan tersebut.
Salah satu modus operandi adalah menjadikan orang dekat sebagai “boneka” dalam struktur perusahaan. Misalnya, Laurensius, mantan satpam rumah dinas bupati, diangkat sebagai Direktur PT Sendawar Jaya (cikal bakal GBU).
“Laurensius itu hanya dipajang di atas kertas. Semua keputusan penting tetap dikendalikan oleh Ismail,” ujar sumber internal perusahaan yang kini bersedia angkat bicara.
Skema Fee Tambang dan Surat Kuasa Keluarga
Dengan surat kuasa bernomor 003/KK-SJ/II/2009, Laurensius memberikan wewenang kepada Klemensius Posan, kerabat istri Ismail untuk menerima fee tambang dari GBU. Skema ini memungkinkan pengumpulan fee produksi batubara hingga USD 4 per ton, selama tambang terus beroperasi.
Dokumen resmi dari Dinas ESDM Kaltim yang memuat jumlah produksi GBU menjadi bagian dari berkas penyidikan dugaan pemalsuan dokumen oleh Kejaksaan Agung tahun 2023.
Dinasti Tambang: Dari Anak hingga Ipar
Jaringan ini tak berhenti pada lingkaran kecil. Alexander Edmond, anak sulung Ismail Thomas, dan Marthinus, ST, iparnya yang mantan anggota DPRD Kaltim dari PDIP, juga disebut sebagai aktor penting dalam pengelolaan kekayaan hasil tambang.
“Ini bukan cuma korupsi. Ini kolonisasi kekayaan daerah oleh segelintir keluarga. Sumber daya kita dijarah atas nama kekuasaan,” ucap seorang aktivis lingkungan dari Kampung Linggang Bigung.
10 Perusahaan, Satu Jejak: Ismail Thomas
Setidaknya 10 perusahaan tambang diduga berada dalam kendali langsung atau tidak langsung Ismail Thomas:
- PT Pratama Bersama (PB)
- PT Gunung Bara Utama (GBU)
- PT Bangun Olah Sarana Sukses (BOSS)
- PT Farhan Fadilah Lestari
- PT Bumi Enggang Khatulistiwa (BEK)
- PT Kencana Wilsa
- PT Citra Dayak Lestari
- PT Lanai Jaya
- PT Energi Batu Hitam (EBH)
- PT Mook Manor Bulatn Lestari (MBL)
Akhirnya, Rakyat yang Jadi Korban
Sementara elite tambang menumpuk kekayaan, masyarakat adat dan petani kehilangan tanah, air bersih, dan ruang hidup. Mereka dikorbankan, dijadikan tameng propaganda, dan dilabeli sebagai penyebab krisis lingkungan.
“Mereka yang duduk di balik meja kekuasaan justru yang menciptakan kehancuran. Kami hanya bisa menonton kampung kami dirusak, dan suara kami tak didengar,” ujar seorang ibu rumah tangga dari Kecamatan Damai.
Investigasi Masih Berlanjut
Tribunone.com berkomitmen melanjutkan investigasi ini. Kutai Barat bukan hanya soal kerusakan lingkungan, tetapi soal bagaimana dinasti politik menggunakan tambang sebagai alat kontrol dan akumulasi kekuasaan. (*)