TRIBUNONE.COM Kota Bima, NTB – Di tengah geliat pembangunan jalan paving, pagar kuburan, hingga gang sempit yang tampak sibuk di Kota Bima, tersimpan dugaan praktik busuk yang menggurita di balik meja proyek.
Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Kota Bima membongkar dugaan keterlibatan langsung sejumlah anggota DPRD dalam pelaksanaan proyek hasil pokok pikirannya (pokir) sendiri.
Para wakil rakyat disebut-sebut bukan hanya mengusulkan, tetapi juga ikut menjadi pelaksana proyek, sebuah praktik yang secara terang-terangan menabrak etika dan aturan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sekretaris Gapensi Kota Bima, Muhamad Haris, menyebut sebagian besar proyek pokir justru diduga “dikerjakan sendiri” oleh oknum dewan menggunakan modus pinjam bendera perusahaan kontraktor lokal.
“Rata-rata pokir dikerjakan sendiri. Nama perusahaan hanya dipinjam,” ungkap Haris kepada wartawan.
Modusnya sistematis, proyek kecil dan menengah seperti rabat gang, pagar makam, hingga paving blok dipecah dalam banyak paket kecil, kemudian dititipkan ke sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terutama Dinas PUPR dan Dinas Dikpora.
“Kalau mau lebih jelas, ke PUPR dan Dikpora. Rata-rata pokir mereka ada di sana,” tambah Haris.
Jatah Rp 1 Miliar per Dewan, Kontraktor Lokal Hanya Jadi Figuran
Menurut penelusuran Gapensi, setiap anggota DPRD Kota Bima mendapat jatah pokir sekitar Rp 1 miliar dari APBD setiap tahunnya. Anggaran itu dipecah agar proyek bisa masuk dalam skema penunjukan langsung (PL), kini dengan batas maksimal Rp 400 juta per paket.
Celah inilah yang diduga dimanfaatkan oknum dewan untuk “menggarap” proyeknya sendiri tanpa proses lelang.
Sementara itu, puluhan kontraktor lokal yang tergabung dalam Gapensi justru harus puas menjadi penyewa bendera perusahaan mereka hanya dipakai sebagai formalitas legal agar proyek tetap “resmi”.
“Kasihan anggota kami. Mereka tidak bisa bersaing karena proyek sudah diatur. Kalau tidak mau dipinjam namanya, ya tidak akan kebagian,” ujar Haris dengan nada kecewa.
Buntut Sistem Busuk: Kontraktor Menganggur, Dewan Kaya Raya
Akibat praktik ini, banyak kontraktor lokal kehilangan peluang kerja dan hanya bertahan hidup dari fee kecil hasil pinjam bendera. Haris menegaskan bahwa ini bukan sekadar pelanggaran aturan, tetapi juga menimbulkan kerusakan sosial dan ekonomi.
“Para pelaku konstruksi lokal seharusnya jadi tulang punggung pembangunan daerah, tapi kini mereka hanya jadi penonton di kampung sendiri,” tegasnya.
Siapa Bertanggung Jawab?
Desakan agar aparat turun tangan kini makin kuat. Gapensi meminta Inspektorat, Aparat Penegak Hukum (APH), hingga lembaga antikorupsi segera melakukan audit total terhadap pengelolaan dana pokir di Kota Bima.
“Pokir itu seharusnya menjadi alat perjuangan aspirasi rakyat, bukan alat memperkaya diri,” pungkas Haris. (**)












