Transformasi Keberadaan Kolegium Dalam Sistem Hukum Kesehatan Indonesia Perlu Model Co Regulation atau Revisi UU ?

- Penulis

Sabtu, 31 Mei 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Peran kolegium kedokteran dalam sistem pelayanan dan pendidikan kesehatan Indonesia telah menjadi titik tumpu penting dalam menjamin mutu dan profesionalisme tenaga medis. Kolegium, sebagai badan otonom yang dibentuk oleh organisasi profesi, selama dua dekade terakhir merumuskan dan menjaga standar kompetensi dokter dan dokter spesialis melalui pendekatan self-regulation.
Pengakuan formal terhadap entitas ini secara jelas dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang menyatakan bahwa kolegium berperan dalam penyusunan kurikulum, penilaian kompetensi, dan sertifikasi profesional tenaga kesehatan.
Namun, paradigma hukum dan tata kelola kesehatan mengalami pergeseran signifikan sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. UU ini mengadopsi pendekatan integratif dan sentralistik yang memosisikan negara sebagai aktor utama dalam pengaturan seluruh aspek sistem kesehatan nasional, termasuk pendidikan dan distribusi tenaga medis.
Keberadaan kolegium tidak lagi disebut secara eksplisit dalam batang tubuh UU ini, dan fungsi-fungsi teknisnya dipindahkan kepada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan unit-unit teknis di bawah Kementerian Kesehatan. Pergeseran ini menimbulkan perdebatan normatif dan teoritis, khususnya dalam konteks legitimasi institusional, otonomi profesi, dan peran komunitas keilmuan dalam proses regulasi.
Dari perspektif filsafat hukum, transformasi ini dapat dibaca sebagai pergeseran dari sistem hukum yang mengakui pluralisme institusional menuju satu bentuk legal centralism. Dalam kerangka pemikiran John Searle dan Michael Polanyi, otonomi kolegium bukan sekadar persoalan administratif, melainkan bagian dari sistem epistemik yang menjaga integritas dan kontinuitas keilmuan.
Ketika fungsi-fungsi itu diserap sepenuhnya oleh negara, maka ada risiko terjadinya epistemic disempowerment, yakni peminggiran aktor-aktor profesi dalam menentukan standar kompetensinya sendiri.
Secara sosiologis, pendekatan self-regulation yang selama ini dianut oleh kolegium merepresentasikan karakteristik khas profesi, sebagaimana dikemukakan Eliot Freidson. Profesi bukan sekadar pekerja teknis, tetapi entitas sosial yang memiliki kewenangan moral dan keilmuan untuk mengatur dirinya sendiri. Dengan demikian, pemusatan fungsi regulatif ke tangan negara dapat mengaburkan perbedaan antara profesi dan birokrasi, serta menghambat dinamika pengembangan keilmuan berbasis kebutuhan nyata di lapangan.
Meski demikian, argumentasi normatif dari negara juga tidak dapat diabaikan. Dalam kerangka negara kesejahteraan (welfare state), negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin akses, keadilan, dan mutu layanan kesehatan bagi seluruh warga.
Ketimpangan distribusi dokter spesialis, inefisiensi sistem pendidikan kedokteran, dan lemahnya akuntabilitas kolegium dalam beberapa kasus menjadi alasan pembenar bagi pendekatan transformasional ini. Dengan kata lain, transformasi peran kolegium merupakan respons atas kegagalan tata kelola lama yang dianggap terlalu elitis, fragmentatif, dan tertutup dari pengawasan publik dan inilah alasan pembenar penguasa.
Oleh karena itu, tantangan utama saat ini bukan sekadar mempertentangkan otonomi profesi dengan kontrol negara, tetapi merancang ulang tata kelola yang kooperatif dan deliberatif. Kolegium sebagai representasi komunitas profesi dan keilmuan tetap dibutuhkan dalam sistem nasional sebagai mitra strategis negara, bukan sebagai subordinat birokrasi. Model co-regulation, yang menempatkan negara dan profesi dalam posisi setara dalam ruang pengambilan keputusan berbasis bukti dan etika profesi, dapat menjadi titik temu yang adil dan fungsional.
Kesimpulan
Transformasi kolegium bukan sekadar perubahan kelembagaan, tapi refleksi atas pertarungan antara:
• Otonomi keilmuan vs kontrol birokratik
• Mutu individu vs keadilan sistemik
• Epistemologi profesi vs logika negara
Jalan pemecahannya tidak bisa bersifat dikotomis (pro negara atau pro profesi), melainkan harus dibangun secara inklusif dan deliberatif, dengan menjamin bahwa:
• Negara hadir sebagai pengarah sistem.
• Profesi hadir sebagai penjaga mutu.
• Publik hadir sebagai penerima manfaat dan pengontrol etis.
Jika jalan tengah ini diambil, Indonesia tidak hanya menyelesaikan konflik regulatif, tetapi juga membangun fondasi kuat bagi profesionalisme kesehatan yang berkeadilan dan berintegritas.
Baku Azerbaijan 28 Mei 2025
Prof Dr dr Abd Halim
Prof DR Suhendar SH,LLM
Editor Nofis Husin Allahdji
Facebook Comments Box
Baca Juga:  Panglima TNI dan Menhan Hadiri Rapat dengan Komisi I DPR, Bahas Anggaran dan Prestasi Keuangan TNI
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Berita Terkait

PETI Menggila di Kelian Dalam: Hukum Seolah Mandul, Warga Tuduh Ada ‘Tangan Gelap’ Bekingi Tambang Ilegal
Kejagung Resmi Limpahkan Berkas Nadiem Makarim dkk ke Jaksa Penuntut Umum
FH Universitas Brawijaya Anugerahkan “Prominen Award” untuk 29 Alumni dan Pegawai Berjasa di Dunia Hukum
Dugaan Skandal Dana Desa Miliaran Rupiah, Aparat Sangsang Dipanggil Tipikor Polres Kubar
Hari Sumpah Pemuda, Gubernur NTB Serukan Semangat Persatuan dan Keteguhan Bangsa
Gubernur NTT Tegaskan Peran APIP dalam Pengawasan Pemerintahan Daerah
Gubernur NTT Dorong Bambu Jadi Pilar Ekonomi Restoratif di Labuan Bajo
Siluq Ngurai Siap Meriahkan Dahau Kubar 2025 dengan Pameran Sulam Tumpar dan Lomba Tradisional
Berita ini 14 kali dibaca

Berita Terkait

Jumat, 14 November 2025 - 04:05

PETI Menggila di Kelian Dalam: Hukum Seolah Mandul, Warga Tuduh Ada ‘Tangan Gelap’ Bekingi Tambang Ilegal

Senin, 10 November 2025 - 04:58

Kejagung Resmi Limpahkan Berkas Nadiem Makarim dkk ke Jaksa Penuntut Umum

Jumat, 7 November 2025 - 04:26

FH Universitas Brawijaya Anugerahkan “Prominen Award” untuk 29 Alumni dan Pegawai Berjasa di Dunia Hukum

Kamis, 30 Oktober 2025 - 15:27

Dugaan Skandal Dana Desa Miliaran Rupiah, Aparat Sangsang Dipanggil Tipikor Polres Kubar

Selasa, 28 Oktober 2025 - 17:05

Gubernur NTT Tegaskan Peran APIP dalam Pengawasan Pemerintahan Daerah

Berita Terbaru